TERNYATA DIA AYAHKU


Suatu petang, di Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, penguasa penjara yang terkenal bengis, sedang memeriksa setiap kamar tahanan.


Apabila beliau melalui setiap sel, kesemua banduan penjara terus membongkokkan badan mereka serendah-rendahnya ketika penguasa penjara itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu boot keras milik tuan Roberto itu akan mendarat di wajah mereka. Ketika melalui satu sel telinga Roberto terdengar suara seseorang sedang mengalunkan ayat-ayat yang amat ia benci apabila mendengarnya “Hai orang tua bodoh… hentikan bacaanmu itu yang sungguh menjengkelkan.. Hentikan… !” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Lelaki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyuknya.


Roberto bertambah berang. Pemimpin penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk seorang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang kelihatan sangat kurus kering dan kulit yang berkedut sehingga menampakkan rangka tulang dibadannya. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuit pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan terus melaungkan kata Ya Rabbi, wa ana abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustaz… InsyaAllah tempatmu di Syurga.”


Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, penguasa penjara itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan *** Anda telah membuat aku benci dan geram dengan suara-suara yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami.” Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,


“Sungguh… aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, iaitu Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia yang terkutuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”


Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu milik Roberto terus mendarat di wajah lelaki tua itu. Tendangan sepatu yang kuat kemuka lelaki tua itu menyebabkan beliau terhuyung hayang. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah buku kecil. Adolf Roberto terus memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai lelaki tua yang bodoh !” bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu boot seberat dua kilogram itu terus menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.


Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan penguasa penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tidak lagi berdaya diangkat, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Beliau seakan terpaku melihat buku dan termenung seketika seperti memikirkan sesuatu. “Ah… seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”


Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis pemuda kejam itu kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.


Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di tempat para tawanan menjalani hukuman (tempat penyiksaan kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung kiri kawasan penyiksaan tersebut, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka yang mati tergantung terbuai-buai ditiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.


Sementara, di kawasan tengah, ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para penceroboh. Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di kawasan hukuman telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menarik-narik pakaian yang dipakai oleh sang ummi. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa… .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi… “


Budak kecil itu akhirnya menangis semakin kuat, ketika sang ummi tidak jua menyahut ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil ayahnya, “Abi… Abi… Abi… ” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam. “Hai… siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi… ” jawabnya memohon belas kasih. “Hah… siapa namamu budak, cuba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah… ” dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak… ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu.


Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang Adolf Roberto… Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.” Tubuh budak itu mengigil ketakutan sambil berjuraian airmatanya kerana terlalu sedih kerana diperlakukan sebegitu.


Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari kawasan tempat penyiksaan tawanan Akhirnya budak yang comel itu hidup bersama mereka. Tiba-tiba vRoberto tersedar dari menungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah tanda hitam ia berteriak histeria, “Abi… Abi… Abi… ” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai tanda hitam pada bahagian pusat.


Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tha… ” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.


Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada titisan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu… ” Terdengar suara Roberto meraung sambil memeluk erat bapanya.


Sang ustaz yang telah uzur itu terpaksa menghela nafasnya berkali-kali sebelum dapat berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang ayah dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah… . Beliau pergi dengan menemui Ar-Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.


Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…

Subhanallah...

Comments

Popular Posts